Rabu, 02 November 2011

Contoh Teks Analitikal Eksposisi dalam Bahasa Indonesia

    Inilah contoh teks analitikal eksposisi (analytical exposition) dalam bahasa Indonesia karya Radindra. Sebenarnya ini sebagai tugas mata kuliah "Genre Studies". Silakan dibaca dan dikomen:

                                       Pentingnya EYD dalam Tulisan (EYD Makes Good Writing)

     Penulis adalah orang yang memiliki kegiatan atau pekerjaan menulis. Tapi tidak semua orang yang ingin menjadi penulis menyadari bahwa tata bahasa (Ejaan Yang Disempurnakan) itu penting dalam menulis. Padahal tata bahasa sangat memengaruhi baik dan buruknya tulisan mereka.

     Pertama, tata bahasa penting untuk membuat pembaca paham terhadap tulisan kita. Hal ini tidak bisa dipungkiri, jika tulisan kita memiliki tata bahasa yang buruk akan membuat pembaca bingung terhadap ide cerita yang ingin kita sampaikan. Sehingga cerita yang kita konsep dengan baik tidak akan tersampaikan pesannya ke para pembaca.

     Kedua, tata bahasa sebagai cermin penulisnya. Baik dan buruknya tulisan itu menjadi bukti keseriusan penulisnya. Jika tulisan itu memiliki tata bahasa yang baik berarti penulisnya memiliki rasa yang tinggi dalam ketelitian dan keseriusan dalam menulis. Tapi jika tata bahasa dalam tulisan itu buruk, ini berarti penulisnya hanya menulis kata yang tidak bermakna. Dia tidak serius dalam menulis.

     Ketiga, tata bahasa menjadi penilaian penting oleh penerbit (editor). Selain penerbit mencari naskah yang memiliki cerita bagus (tidak pasaran) dan ada nilai jual, di samping itu penerbit juga memerhatikan tata bahasa dari naskah yang diberikan kepadanya. Penerbit (editor) juga merasa malas untuk membaca naskah yang memiliki tata bahasa yang berantakan. Hal ini bisa membuat naskah kita tidak diterima oleh penerbit.

     Dari alasan-alasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tata bahasa (EYD) itu penting untuk membuat tulisan yang bagus dan dapat berterima oleh penerbit. Karena tulisan tidak akan terlepas dari yang namanya tata bahasa.

note:
*The social function is the persuade the readers or the listeners that something is the case.
*The generic structure is...
-Thesis
-Arguments
-Re-iteration

Telah Terbit : SCARY MOMENTS #1

Telah Terbit Buku:
JUDUL : SCARY MOMENT #1 (kumpulan kisah-kisah horor)
PENERBIT : Indie Publishing
HARGA : Rp. 40.000,-00/ buku (belum termasuk ongkir)
(limited edition in Gramedia Jakarta)
Yang demen dengan kisah-kisah horor, Ayo segera uji nyali Anda dengan membaca buku super horor ini.
Untuk pemesanan silakan ke salah satu inbok, Mas Dani Ardiansyah, Radindra Rahman, El Kinanti, dkk.

Salam Sukses,’
Indie publishing dan Para penulis

Sabtu, 22 Oktober 2011

Perjuangan Mimpi dengan Langkah Top 10 Ala Radindra


Perjuangkanlah mimpi-mimpimu dengan perjuangan sampai titik akhir. Jika kau punya mimpi jangan hanya kau khayalkan semata. Tapi berbuatlah sesuatu dan yakinlah mimpi itu kelak akan menjadi nyata.

1. MIMPI

Seorang tak punya mimpi apa yang mesti ia perjuangkan dalam hidupnya? Gak ada bukan? So, bermimpilah, bentuk masa depanmu dengan cita-cita atau keinginan yang kau inginkan. Hal ini sebagai rencana awal sebelum kita berjuang.

2. NIAT

Orang yang punya mimpi tapi tak punya niat, apa guna sebuah mimpi itu? Ya, paling-paling hanya akan teronggok sepi menjadi bunga tidur semata. So, jika kita sudah punya mimpi, berniatlah kita akan mewujudkan mimpi itu.

3. YAKIN / KEYAKINAN
Kita sudah punya mimpi dan niat yang kuat. Agar niat itu tidak kendor, tanamkanlah keyakinan bahwasanya kita akan berhasil menjadi seperti apa yang kita impikan. Karena hal ini sangat penting untuk kita agar lebih berani menerima risiko ke depannya. Apa pun rintangannya, asalkan kita yakin dan yakin mimpi itu bukan hanya mimpi, tapi bisa kita wujudkan. Pasti bisa.

4. SEMANGAT

Keyakinan sudah ada. Sudah tertanam kuat dalam hati bahwasanya mimpi kita akan kita raih. Jadi, kita butuh yang namanya semangat untuk lebih menggairahkan mimpi kita itu. Meskipun kita sudah yakin mimpi itu akan nyata, tapi kita berpenampilan lesu tak ada semangat sedikit pun, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang sekitar kita. So, bersemangatlah. Semangat itu GRATIS kok.

5. KONSEP / PERENCANAAN
Ini yang penting, bagaimana kita bisa mengerjakan sesuatu tanpa punya rencana sebelumnya. So, desain, buatlah konsep, perencanaan, atau apalah mengenai jalan mimpimu kelak. Buatlah target yang ingin kau capai.

6. ACTION / TINDAKAN
Setelah perencanaan itu kita buat. Hal yang paling penting yang harus kita lakukan selanjutnya adalah tindakan yang real untuk mewujudkan mimpi itu. Tanpa sebuah tindakan, mimpi itu akan sia-sia. Ya, akan berujung dalam dunia fantasi mimpi kita. So, buatlah mimpi itu, ciptakan mimpi itu dengan tindakan.
7.  TERBUKA
Jadilah pribadi yang terbuka menerima apa pun yang menjadi kritik dan saran untuk kita. Jangan tutup mata, telinga, dan mulut kita. Hal ini penting untuk kita bisa menjalin kerjasama dengan lingkungan sekitar. Hal ini harus kita imbangi dengan:
  1. Lapang dada
  2. Memahami kekurangan kita
  3. Bersabar, dll 
8. PANTANG MENYERAH

Jangan jadikan kritik itu sebagai hal yang menghancurkan mimpi itu. Tapi buatlah kritik itu pondasi yang kuat agar mimpi itu kelak bisa lebih sempurna dengan memahami kekurangan kita. So, sikap pantang menyerah inilah yang harus ada dalam jiwa kita sebagai pejuang.

9.  TERUS BELAJAR
Jangan bersikap kita sudah cukup berpengalaman yang memadai. Sejatinya kita sebagai manusia harus terus menimba ilmu dan terus berlajar. WAJIB. Hal ini sebagai referensi pengetahuan tentang perjuangan mimpi kita.

10. DOA / IKHTIAR / TAWAKKAL
Setelah kesemuanya kita penuhi, jangan serta merta meninggalkan yang satu ini ya. Bagaimanapun juga kita hanya manusia biasa, “Human proposes, God disposes”. So, apa pun hasilnya serahkan semuanya kepada Tuhan.

Ok, teman-teman itu sedikit tips yang bisa aku bagikan. Masih banyak untaian kata yang bisa mengiring langkah kita dalam meraih mimpi. Tapi yang terpenting dalam perjuangan mimpi itu. Sejatinya hati kalianlah yang tahu. Kalian yang bisa mewujudkannya.



Salam sukses,
Radindra Rahman

Rabu, 24 Agustus 2011

Telah Terbit Buku Antologi Puisi dan Cerpen:


Judul                           : PELANGI DI JEMARI (antologi puisi)
Tebal                           : 130 halaman
Harga                          : 25.000,-00 (belum termasuk ongkir)
ISBN                           : 978-602-97441-01
Penulis                         : Moh. Maman SR (Radindra Rahman) & Nurul Indah SN (Nurlinda Setyani)
Penerbit                       : IBC (Indie Book Corner)
                                      Pajeksan Gt 1/727
                                      Yogjakarta
Dalam buku “Pelangi di Jemari” terdapat lebih dari 100 puisi dengan tema yang beragam (percintaan, kemanusiaan, kritik sosial, politik, keagamaan, dan lain-lain).
Kutipan salah satu puisi:

Tuhan Tergadai

Menjelma alam ini
Dalam zaman orang-orang
Merangkas iman
Sementara di luar sana
Tuhan telah tergadai
Demi seteguk rayuan iblis
Memanjakan dunia
Dan keperawanan seorang gadis
Telah sirna
Demi harta,
Di pucuk nista
Di pucuk sengsara
Bahkan benih-benih kebaikan
Menjadi topeng hendak bernama
Di negeri mereka


Telah terbit buku:
Judul : CURHAT (antologi cerpen)
Tebal : 118 halaman
Harga : 25.000,-00 (Belum termasuk ongkir)
ISBN : 978-602-9149-31-9
Penulis : Radindra Rahman * Nurlinda Setyani*Arief Ahmad Purnomo * Aqila Rizqieya * Ummu Khuroiroh*Zafirah Az Zahra * Ipeh * Yumeina Ryuri * Piry Noupha*Shofi Maylina

Penerbit : IBC (Indie Book Corner)
Pajeksan Gt 1/727
Yogjakarta

Pembelian bisa di inbok facebook:
Radindra Rahman Sr. 

Nurlinda Indah Sn

Sabtu, 20 Agustus 2011

Semangat ’45 di Dada GarudA (Indonesia Bangkit)




Dunia tahu kita hidup di negeri yang melimpaH
Negeri bermacam pulau yang dulu terjajaH
Medan perang yang telaH
Tumpahkan bersumur-sumur daraH
Dan tumbangkan para penjajaH
Dalam tinta sejaraH
……….
Oh, IndonesiA
Kita bukan pengecuT
Dari kumpulan orang-orang yang ciuT
Kita adalah pahlawan Negeri PancasilA
Negeri yang gagah bak dada GarudA
Negeri yang kuat bak cengkeraman GarudA
Negeri yang hebat bak sayap GarudA
Ya, itulah kita rakyat IndonesiA
Rakyat yang tak kenal gentaR
Dalam bertempuR
IndonesiA!
Tak perlu kita cucurkan airmata itu sia-siA
Duka seakan hantui kita berabad-abad lamanyA
Luka itu bak tertanam dalam-dalaM,
TertimbuN
Menggerogoti jiwa dan hati kitA
Kecutkan kitA,
Patahkan kitA,
Dan lenyapkan semangat ‘45

IndonesiA
Ini bukan salah kita - jelas bukan dosa kitA
Bencana yang bertubi-tubi bak penjajah negerI
‘lah cucurkan airmatA
Anak-anak kita merenggek kelaparaN
Burung-burung di hutan pindah saranG
Ikan-ikan di laut pindah haluaN
Bahkan tersirat kabar – jelaS
Jantung kita tercabik di luar sana – negeri buaS

IndonesiA
Bangunlah negeri inI
Tanah subur, alam permaI
‘Lah Tuhan anugerahkan buat kitA
Bukan ‘tuk penjajah atau pengecut lemaH
Oh, IndonesiA
 …..
Tuhan ‘kan limpahkan cobaaN
Bukan ‘tuk kehancuran negeri inI
Tuhan telah siapkan kemenangaN
Atas Negeri PancasilA
Negeri kitA

IndonesiA!
Bangkitlah ke medan tempuR
Tanpa ragu dan gentaR
Tunjukan pada duniA
Semangat ’45 di dada GarudA
Terus berkibaR
BerkobaR





22.00, 23 Desember 2010

Lentera Bangsa (Budaya Indonesia)



Langit siang itu cerah tidak bernoda. Awan putih menggumpal dengan indah menghiasi wajahnya. Apalagi sinar matahari yang terang menerobos dan berjatuhan di  rerumputan yang sedang bercumbu dengan angin. Bergoyang seirama dengan tiupan yang sepoi di tanah tercinta, Indonesia. Tanah air yang selalu dipuja dan tersohor karena limpahan kemakmuran alamnya. Daratan hijau dari berbagai pulau yang dikelilingi lautan biru yang menambah lengkap sempurnanya alam.
Siang itu di tempat yang terbuat dari bambu-bambu yang kokoh berdiri. Terlihat empat sosok anak remaja yang sedang sibuk dengan persiapan pementasan. Sebut saja mereka Beri, Ali, Atika, dan May. Kala itu Beri sedang membenahi wayang kulitnya yang terlihat rusak.
“Kau masih mengandalkan wayang itu, Beri?” Tanya May gadis cantik keturunan Tionghoa.
“Ya, May. Inilah salah satu warisan yang berharga untukku dan hidupku.”
“Dijual saja-lah, Ber! Apa bagusnya pentas dengan gituan? Apalagi untuk festival tingkat nasional yang kebanyakan penontonya adalah para remaja. Mending kita cari ide yang lain.” Usul Ali.
“Sampai kapan pun ini tidak akan aku jual, Teman. Aku mencintai wayang ini seperti aku mencintai negaraku sendiri. Inilah salah satu dari lentera bangsa. Ya, walaupun tidak sepopuler zaman sekarang. Tapi untukku ini lebih dari harta yang berharga.” Jelas Beri panjang lebar.
“Ada ide apa, Al? Waktu kita tidak banyak. Satu-satunya konsep yang sudah siap untuk kita pentaskan adalah konsep dari Beri.” Sahut Atika.
“Pementasan wayang?” Tanya Ali.
“Ya. Memang kenapa dengan wayang? Selain bisa dipentaskan, kita juga bisa memperkenalkan budaya kita ‘kan?” Tegas Atika.
“Ya, kalau gak salah ada juri dari luar.” Tambah May.
“Ya, aku tahu. Tapi coba kalian pikir lagi. Siapa yang akan tertarik menonton pementasan wayang? Cuma bapak-bapak dan orang-orang tua ‘kan? Apalagi ini festival yang penontonya adalah para remaja. Remaja itu suka dengan yang menjadi tren.” Jelas Ali panjang lebar.
“Terus apa idemu?” Tanya May.
“Musik. Itu cara yang mudah untuk menarik perhatian orang-orang.” Jawab Ali.
“Ya, Atika jago menyanyi dangdut.” Kata May.
“Aku? Tapi aku malu untuk menyanyi dangdut.”  Sahut Atika.
“Tidak. Bukan dangdut May!” Kata Ali.
“Lalu apa idemu, Al?” Tanya Beri.
“Lagu cinta yang ber-genre pop-melayu. Ya, itulah yang sekarang lagi nge-hits dikalangan remaja,  seperti kita ini! Pasti kita akan menjadi juara dalam festival nanti. Atika sebagai vokal dan May kamu bisa main biola ‘kan?”
“Bisa sih.” Jawab May datar.
“Kita, Beri. Kau dan aku akan main gitar dan drum. Gimana?” Usul Ali.
“Kalau aku sih ikut saja mana yang terbaik buat festival besok?” Kata May.
“Memang idemu bagus, tapi coba kita pertimbangkan lagi. Di sisi lain jika kita memakai konsep yang telah dicetuskan oleh Beri. Kita tidak hanya akan mementaskan sesuatu seni, tapi kita juga bisa memperkenalkan budaya Indonesia. Dan jika kita harus nge-band, kita harus latihan ekstra untuk menciptakan harmonisasi yang bagus. Tapi waktu kita tidak banyak, Al. Ya ‘kan?” Jelas Atika.
“Aku juga setuju dengan pendapatmu, Tik?” Sahut May.
“Kamu Beri?” Tanya Ali.
“Sebaiknya kita voting? Jika kita terus memperdebatkan masalah ini, pasti tidak akan ada hentinya.” Jawab Beri bijak.
Lalu semuanya terdiam sejenak. Dan semuanya menyetujui usulan dari Beri untuk mengadakan voting. Dan hasil voting itu semuanya setuju dengan konsep yang diusulkan oleh Beri, kecuali Ali yang masih teguh dengan idenya.
“Gimana, Al?” Tanya Beri.
“Baiklah. Jika dari hasil voting lebih setuju dengan konsepmu, aku ikut saja.” Jawab Ali.
Akhirnya mereka pun segera menyiapkan semua perlengkapan untuk pentas dan pembagian tugas masing-masing.
Wajah langit pun juga sudah semakin menghitam. Awan-awan putih yang menggumpal telah pergi terbawa angin. Sementara matahari di ufuk barat mendapatkan tempat baru untuk memperelok bumi di senja hari.
Waktu terus berjalan! Hari pementasan pun sudah tiba. Semua peserta sudah berkumpul di tempat pementasan. Beri, Atika, dan May pun sudah sampai di gerbang tempat pementasan berlangsung. Tapi wajah mereka terlihat muram dan gelisah. Ya, lantaran Ali belum juga datang.
“Apa kamu sudah menghubungi Ali, Tik? Tanya May.
“Sudah, tapi katanya dia baru di perjalanan.” Jawab Atika.
“Coba hubungi dia lagi, Tik. Soalnya dia yang membawa wayang itu.” Seru Beri.
“Baiklah akan aku coba lagi.” Kata Atika yang langsung mengambil handphonenya dan mencoba menghubungi Ali kembali. Tapi sudah berulang kali dia mencoba handphone Ali tidak aktif.
“Handphoenya tidak aktif.” Jelas Atika.
“Kamu kemana sih, Al? Tapi dia tahu tempat pementasannya ‘kan? Tanya May yang mulai gelisah. Dan dari arah panggung pementasan pun sudah dimulai dengan peserta pertama. Wajah mereka bertiga semakin terlihat gelisah.
“Sebentar lagi kita akan tampil, Tik. Jika Ali tidak juga datang, apa yang mesti kita lakukan?” Tanya Beri yang juga terlihat gelisah.
“Aku juga bingung, Ber. Kita tunggu saja kedatangan Ali.” Jawab Atika.
Lalu tidak lama berselang. Dari arah depan terlihat Ali datang dengan wajah yang bahagia.
“Maaf aku terlambat. Jalanan macet.” Jelas Ali.
“Untung kita masih punya waktu. Terus mana wayangnya? Kamu bawa ‘kan?” Tanya Beri.
“Aku punya kabar bagus, Teman! Lebih dari sekadar wayang. Tadi di jalan aku bertemu orang dari luar negeri. Katanya dia tertarik dengan wayang yang aku bawa.” Jelas Ali.
“Bagus itu. Terus?”
“Ya, aku jual saja wayang itu. Dia mau membelinya dengan harga tinggi. Dan ini lebih dari cukup, bahkan lebih dari hadiah pementasan ini. Kita tidak usah ikut festival ini. Kita sudah mendapatkan uang untuk kita sumbangkan.” Jelas Ali dengan penuh semangat.
“Jadi kamu jual itu wayang?” Tanya Beri yang agak mulai emosi.
“Ya. Ini uangnya.” Jawab Ali.
“Ya ampun, Al. Kenapa kamu jual itu wayang? Kamu sadar gak sih?”
“Yang penting dapat uang ‘kan? Kita beli lagi yang baru. Gampang ‘kan?”
“Apa begitu mudahnya? Apa kamu juga akan menjual semua budaya yang kita punya hanya untuk mendapatkan uang itu? Apa kamu tidak malu, Al? Di mana rasa kecintaanmu kepada budaya sendiri? Apa kamu malu memainkan wayang? Hingga kamu harus menjualnya. Aku sungguh kecewa dengan kamu. Sangat!”
“Iya Al. Kamu tidak seharusnya menjual wayang itu.” Sahut Atika.
“Ya, seburuk-buruknya aku dengan budayaku. Dan serendah-rendahnya aku tanpa pengetahuan budayaku. Aku tidak akan menjual wayang itu.” Tambah May.
“Itu cuma wayang teman. Ayolah! Kenapa harus dibesar-besarkan? Jelas kita harus bangga. Mereka tertarik dengan budaya kita. Kita bisa mendapatkan uang itu.” Dalih Ali.
“Tapi tidak harus kau jual itu wayang ‘kan? Memang sejak awal kamu tidak setuju dan tidak berniat untuk mementaskannya. Kamu itu egois, Al. Kamu cuma mencari kehormatan tanpa harus menjaga kehormatan dan martabatmu sendiri. Aku sangat kecewa dengan sikapmu.” Jelas Beri.
Beri yang tidak bisa mengontrol emosi langsung menonjok wajah Ali. Dia pun langsung meninggalkan tempat pementasan itu dengan perasaan yang kecewa.
“Beri, kau mau kemana?” Tanya Atika.
“Kamu tidak apa-apa ‘kan, Al?” Tanya May yang mencoba membantu Ali.
“Apa aku salah? Aku hanya ingin membantu kalian mendapatkan uang itu.” Tanya Ali.
“Sudah hal itu tidak usah kita bahas lagi. Yang terpenting kita harus mencari jalan keluar dengan situasi yang akan kita hadapi sekarang. Apa yang mesti kita pentaskan hari ini? Kita tidak mungkin mengundurkan diri dengan alasan gara-gara wayang itu telah kita jual. Tidak hanya rasa malu yang akan kita dapatkan, tapi lebih dari itu. Kita akan dicap tidak memiliki rasa nasionalisme dan tidak peduli terhadap bangsa kita sendiri.” Jelas Atika panjang lebar.
“Kita pakai konsep yang telah aku buat kemarin saja, Tik!” Usul Ali.
“Itu tidak mungkin, Al. Kita tidak siap dan kita juga belum latihan. Dan dengan kondisimu yang seperti ini aku rasa tidak bisa.” Tolak Atika.
“Kamu saja yang tampil, Tik?” Kata May.
“Aku? Apa yang aku bisa lakukan tanpa kalian? Itu tidak mungkin.” Tanya Atika.
“Menyanyi dangdut, Tik.” Jelas May.
“Tapi, tapi. Aku malu jika harus menyanyi dangdut. Apalagi di depan orang banyak, May.”
“Ayolah, Tik. Pasti kamu bisa. Dan kita tahu sendiri ‘kan. Dangdut sudah menjadi bagian dari budaya kita. Aset penting bangsa kita!” Bujuk May.
“Ya, May benar, Tik. Aku harap kau mau?” Tambah Ali.
Akhirnya Atika pun menyetujui usul dari May dan Ali. Mereka pun segera menuju ke tempat pementasan berlangsung. Atika mencoba menarik nafas dalam-dalam. Dia terlihat gugup. Sementara, May dan Ali duduk di bangku penonton.
Tepuk tangan penonton menambah riuh suasana hari itu. Lagu dangdut itu pun telah mengajak penonton untuk berdiri dari tempat duduk dan mengikuti alunan gendang yang sedang ditabuh. Suara Atika sudah menggema dalam pementasan pagi itu. Semua menyambutnya dengan gembira.
Waktu lekas berjalan!
“Syukurlah, Tik! Kau berhasil menyanyikannya dengan baik. Orang-orang pada ikut bergoyang. Apalagi juri-juri. Kau tampak seperti penyanyi ibu kota.” Celoteh May.
“Ya, May. Tapi hatiku masih ada yang mengganjal.” Kata Atika.
“Apa? Soal juara gaknya kita? Soal itu gak usah dipikirkan, Tik. Yang penting kau sudah memberikan yang terbaik buat penonton dan buat kita semua.”
“Bukan soal itu!”
“Lalu apa?”
“Aku juga tidak tahu persisnya.”
Lalu seorang juri pun menghampiri mereka bertiga.
“Selamat pagi? Saudari Atika?” Tanya juri yang berasal dari luar negeri. Ali pun tidak asing dengan wajah itu.
“Pagi.”
“Tik, orang itu yang membeli wayang kita tadi.” Bisik Ali.
“Apa musik yang kamu nyanyikan tadi? Itu membuat orang-orang begitu senang menikmatinya. Bahkan aku sendiri baru pertama kali mendengarnya. Aku jatuh hati dengan musik itu.” Kata juri luar itu.
“Itu musik dangdut, Mr.. Asli dari Indonesia.” Jelas Atika.
“Oh, dangdut. Kamu bisa nyanyikan itu lagi spesial untukku. Kalau kamu berkenan.” Pinta juri asing itu.
“Ya, dengan senang hati. Tapi boleh saya minta sesuatu, Mr.?”
Atika pun menjelaskan maskudnya. Dia akan menyanyikan lagu dangdut itu jika ditukar dengan wayang yang dibawa juri asing itu. Dan dia akan mengembalikan uang yang pernah diterima oleh Ali.
“Ehhmm, ya tentu. Asal kau bisa menyanyikannya dengan indah.” Kata juri asing itu.
Lalu lagu dangdut itu pun mulai terngiang kembali. Dan mereka pun bisa mendapatkan wayang itu kembali. Wajah mereka terlihat bergembira. Senyum kemenangan seakan terselip di wajah mereka. Lalu mereka segera bergegas pulang untuk menemui Beri.
“Untuk apa kau ke sini? Apa kamu ingin menjual budayamu yang lain?” Kata Beri kepada Ali.
“Maaf sebelumnya, Ber. Aku mengaku salah. Seharusnya aku tidak menjual wayang itu. Seharusnya aku menjaganya walau apapun yang terjadi. Dan hari ini pula aku ingin minta maaf kepadamu. Semoga kau mau memaafkanku! Aku tidak ingin persahabatan kita putus, Ber.” Jelas Ali.
“Ya, Ber. Ali sudah mengaku salah. Maafkanlah! Lagian wayang itu sudah kita dapatkan kembali.” Sahut May dengan menjelaskan lebih detailnya kepada Beri.
“Sekarang kita harus bersatu bukan? Tidak ada lagi kata permusuhan atau pertengkaran di antara kita. Tidak ada gunanya?”
“Ya, dan kita yang akan melestarikan budaya kita tercinta.”
“Ya, kita yang akan melestarikannya tanpa rasa malu. Lentera bangsa harus terus bersinar.”