Sabtu, 20 Agustus 2011

Lentera Bangsa (Budaya Indonesia)



Langit siang itu cerah tidak bernoda. Awan putih menggumpal dengan indah menghiasi wajahnya. Apalagi sinar matahari yang terang menerobos dan berjatuhan di  rerumputan yang sedang bercumbu dengan angin. Bergoyang seirama dengan tiupan yang sepoi di tanah tercinta, Indonesia. Tanah air yang selalu dipuja dan tersohor karena limpahan kemakmuran alamnya. Daratan hijau dari berbagai pulau yang dikelilingi lautan biru yang menambah lengkap sempurnanya alam.
Siang itu di tempat yang terbuat dari bambu-bambu yang kokoh berdiri. Terlihat empat sosok anak remaja yang sedang sibuk dengan persiapan pementasan. Sebut saja mereka Beri, Ali, Atika, dan May. Kala itu Beri sedang membenahi wayang kulitnya yang terlihat rusak.
“Kau masih mengandalkan wayang itu, Beri?” Tanya May gadis cantik keturunan Tionghoa.
“Ya, May. Inilah salah satu warisan yang berharga untukku dan hidupku.”
“Dijual saja-lah, Ber! Apa bagusnya pentas dengan gituan? Apalagi untuk festival tingkat nasional yang kebanyakan penontonya adalah para remaja. Mending kita cari ide yang lain.” Usul Ali.
“Sampai kapan pun ini tidak akan aku jual, Teman. Aku mencintai wayang ini seperti aku mencintai negaraku sendiri. Inilah salah satu dari lentera bangsa. Ya, walaupun tidak sepopuler zaman sekarang. Tapi untukku ini lebih dari harta yang berharga.” Jelas Beri panjang lebar.
“Ada ide apa, Al? Waktu kita tidak banyak. Satu-satunya konsep yang sudah siap untuk kita pentaskan adalah konsep dari Beri.” Sahut Atika.
“Pementasan wayang?” Tanya Ali.
“Ya. Memang kenapa dengan wayang? Selain bisa dipentaskan, kita juga bisa memperkenalkan budaya kita ‘kan?” Tegas Atika.
“Ya, kalau gak salah ada juri dari luar.” Tambah May.
“Ya, aku tahu. Tapi coba kalian pikir lagi. Siapa yang akan tertarik menonton pementasan wayang? Cuma bapak-bapak dan orang-orang tua ‘kan? Apalagi ini festival yang penontonya adalah para remaja. Remaja itu suka dengan yang menjadi tren.” Jelas Ali panjang lebar.
“Terus apa idemu?” Tanya May.
“Musik. Itu cara yang mudah untuk menarik perhatian orang-orang.” Jawab Ali.
“Ya, Atika jago menyanyi dangdut.” Kata May.
“Aku? Tapi aku malu untuk menyanyi dangdut.”  Sahut Atika.
“Tidak. Bukan dangdut May!” Kata Ali.
“Lalu apa idemu, Al?” Tanya Beri.
“Lagu cinta yang ber-genre pop-melayu. Ya, itulah yang sekarang lagi nge-hits dikalangan remaja,  seperti kita ini! Pasti kita akan menjadi juara dalam festival nanti. Atika sebagai vokal dan May kamu bisa main biola ‘kan?”
“Bisa sih.” Jawab May datar.
“Kita, Beri. Kau dan aku akan main gitar dan drum. Gimana?” Usul Ali.
“Kalau aku sih ikut saja mana yang terbaik buat festival besok?” Kata May.
“Memang idemu bagus, tapi coba kita pertimbangkan lagi. Di sisi lain jika kita memakai konsep yang telah dicetuskan oleh Beri. Kita tidak hanya akan mementaskan sesuatu seni, tapi kita juga bisa memperkenalkan budaya Indonesia. Dan jika kita harus nge-band, kita harus latihan ekstra untuk menciptakan harmonisasi yang bagus. Tapi waktu kita tidak banyak, Al. Ya ‘kan?” Jelas Atika.
“Aku juga setuju dengan pendapatmu, Tik?” Sahut May.
“Kamu Beri?” Tanya Ali.
“Sebaiknya kita voting? Jika kita terus memperdebatkan masalah ini, pasti tidak akan ada hentinya.” Jawab Beri bijak.
Lalu semuanya terdiam sejenak. Dan semuanya menyetujui usulan dari Beri untuk mengadakan voting. Dan hasil voting itu semuanya setuju dengan konsep yang diusulkan oleh Beri, kecuali Ali yang masih teguh dengan idenya.
“Gimana, Al?” Tanya Beri.
“Baiklah. Jika dari hasil voting lebih setuju dengan konsepmu, aku ikut saja.” Jawab Ali.
Akhirnya mereka pun segera menyiapkan semua perlengkapan untuk pentas dan pembagian tugas masing-masing.
Wajah langit pun juga sudah semakin menghitam. Awan-awan putih yang menggumpal telah pergi terbawa angin. Sementara matahari di ufuk barat mendapatkan tempat baru untuk memperelok bumi di senja hari.
Waktu terus berjalan! Hari pementasan pun sudah tiba. Semua peserta sudah berkumpul di tempat pementasan. Beri, Atika, dan May pun sudah sampai di gerbang tempat pementasan berlangsung. Tapi wajah mereka terlihat muram dan gelisah. Ya, lantaran Ali belum juga datang.
“Apa kamu sudah menghubungi Ali, Tik? Tanya May.
“Sudah, tapi katanya dia baru di perjalanan.” Jawab Atika.
“Coba hubungi dia lagi, Tik. Soalnya dia yang membawa wayang itu.” Seru Beri.
“Baiklah akan aku coba lagi.” Kata Atika yang langsung mengambil handphonenya dan mencoba menghubungi Ali kembali. Tapi sudah berulang kali dia mencoba handphone Ali tidak aktif.
“Handphoenya tidak aktif.” Jelas Atika.
“Kamu kemana sih, Al? Tapi dia tahu tempat pementasannya ‘kan? Tanya May yang mulai gelisah. Dan dari arah panggung pementasan pun sudah dimulai dengan peserta pertama. Wajah mereka bertiga semakin terlihat gelisah.
“Sebentar lagi kita akan tampil, Tik. Jika Ali tidak juga datang, apa yang mesti kita lakukan?” Tanya Beri yang juga terlihat gelisah.
“Aku juga bingung, Ber. Kita tunggu saja kedatangan Ali.” Jawab Atika.
Lalu tidak lama berselang. Dari arah depan terlihat Ali datang dengan wajah yang bahagia.
“Maaf aku terlambat. Jalanan macet.” Jelas Ali.
“Untung kita masih punya waktu. Terus mana wayangnya? Kamu bawa ‘kan?” Tanya Beri.
“Aku punya kabar bagus, Teman! Lebih dari sekadar wayang. Tadi di jalan aku bertemu orang dari luar negeri. Katanya dia tertarik dengan wayang yang aku bawa.” Jelas Ali.
“Bagus itu. Terus?”
“Ya, aku jual saja wayang itu. Dia mau membelinya dengan harga tinggi. Dan ini lebih dari cukup, bahkan lebih dari hadiah pementasan ini. Kita tidak usah ikut festival ini. Kita sudah mendapatkan uang untuk kita sumbangkan.” Jelas Ali dengan penuh semangat.
“Jadi kamu jual itu wayang?” Tanya Beri yang agak mulai emosi.
“Ya. Ini uangnya.” Jawab Ali.
“Ya ampun, Al. Kenapa kamu jual itu wayang? Kamu sadar gak sih?”
“Yang penting dapat uang ‘kan? Kita beli lagi yang baru. Gampang ‘kan?”
“Apa begitu mudahnya? Apa kamu juga akan menjual semua budaya yang kita punya hanya untuk mendapatkan uang itu? Apa kamu tidak malu, Al? Di mana rasa kecintaanmu kepada budaya sendiri? Apa kamu malu memainkan wayang? Hingga kamu harus menjualnya. Aku sungguh kecewa dengan kamu. Sangat!”
“Iya Al. Kamu tidak seharusnya menjual wayang itu.” Sahut Atika.
“Ya, seburuk-buruknya aku dengan budayaku. Dan serendah-rendahnya aku tanpa pengetahuan budayaku. Aku tidak akan menjual wayang itu.” Tambah May.
“Itu cuma wayang teman. Ayolah! Kenapa harus dibesar-besarkan? Jelas kita harus bangga. Mereka tertarik dengan budaya kita. Kita bisa mendapatkan uang itu.” Dalih Ali.
“Tapi tidak harus kau jual itu wayang ‘kan? Memang sejak awal kamu tidak setuju dan tidak berniat untuk mementaskannya. Kamu itu egois, Al. Kamu cuma mencari kehormatan tanpa harus menjaga kehormatan dan martabatmu sendiri. Aku sangat kecewa dengan sikapmu.” Jelas Beri.
Beri yang tidak bisa mengontrol emosi langsung menonjok wajah Ali. Dia pun langsung meninggalkan tempat pementasan itu dengan perasaan yang kecewa.
“Beri, kau mau kemana?” Tanya Atika.
“Kamu tidak apa-apa ‘kan, Al?” Tanya May yang mencoba membantu Ali.
“Apa aku salah? Aku hanya ingin membantu kalian mendapatkan uang itu.” Tanya Ali.
“Sudah hal itu tidak usah kita bahas lagi. Yang terpenting kita harus mencari jalan keluar dengan situasi yang akan kita hadapi sekarang. Apa yang mesti kita pentaskan hari ini? Kita tidak mungkin mengundurkan diri dengan alasan gara-gara wayang itu telah kita jual. Tidak hanya rasa malu yang akan kita dapatkan, tapi lebih dari itu. Kita akan dicap tidak memiliki rasa nasionalisme dan tidak peduli terhadap bangsa kita sendiri.” Jelas Atika panjang lebar.
“Kita pakai konsep yang telah aku buat kemarin saja, Tik!” Usul Ali.
“Itu tidak mungkin, Al. Kita tidak siap dan kita juga belum latihan. Dan dengan kondisimu yang seperti ini aku rasa tidak bisa.” Tolak Atika.
“Kamu saja yang tampil, Tik?” Kata May.
“Aku? Apa yang aku bisa lakukan tanpa kalian? Itu tidak mungkin.” Tanya Atika.
“Menyanyi dangdut, Tik.” Jelas May.
“Tapi, tapi. Aku malu jika harus menyanyi dangdut. Apalagi di depan orang banyak, May.”
“Ayolah, Tik. Pasti kamu bisa. Dan kita tahu sendiri ‘kan. Dangdut sudah menjadi bagian dari budaya kita. Aset penting bangsa kita!” Bujuk May.
“Ya, May benar, Tik. Aku harap kau mau?” Tambah Ali.
Akhirnya Atika pun menyetujui usul dari May dan Ali. Mereka pun segera menuju ke tempat pementasan berlangsung. Atika mencoba menarik nafas dalam-dalam. Dia terlihat gugup. Sementara, May dan Ali duduk di bangku penonton.
Tepuk tangan penonton menambah riuh suasana hari itu. Lagu dangdut itu pun telah mengajak penonton untuk berdiri dari tempat duduk dan mengikuti alunan gendang yang sedang ditabuh. Suara Atika sudah menggema dalam pementasan pagi itu. Semua menyambutnya dengan gembira.
Waktu lekas berjalan!
“Syukurlah, Tik! Kau berhasil menyanyikannya dengan baik. Orang-orang pada ikut bergoyang. Apalagi juri-juri. Kau tampak seperti penyanyi ibu kota.” Celoteh May.
“Ya, May. Tapi hatiku masih ada yang mengganjal.” Kata Atika.
“Apa? Soal juara gaknya kita? Soal itu gak usah dipikirkan, Tik. Yang penting kau sudah memberikan yang terbaik buat penonton dan buat kita semua.”
“Bukan soal itu!”
“Lalu apa?”
“Aku juga tidak tahu persisnya.”
Lalu seorang juri pun menghampiri mereka bertiga.
“Selamat pagi? Saudari Atika?” Tanya juri yang berasal dari luar negeri. Ali pun tidak asing dengan wajah itu.
“Pagi.”
“Tik, orang itu yang membeli wayang kita tadi.” Bisik Ali.
“Apa musik yang kamu nyanyikan tadi? Itu membuat orang-orang begitu senang menikmatinya. Bahkan aku sendiri baru pertama kali mendengarnya. Aku jatuh hati dengan musik itu.” Kata juri luar itu.
“Itu musik dangdut, Mr.. Asli dari Indonesia.” Jelas Atika.
“Oh, dangdut. Kamu bisa nyanyikan itu lagi spesial untukku. Kalau kamu berkenan.” Pinta juri asing itu.
“Ya, dengan senang hati. Tapi boleh saya minta sesuatu, Mr.?”
Atika pun menjelaskan maskudnya. Dia akan menyanyikan lagu dangdut itu jika ditukar dengan wayang yang dibawa juri asing itu. Dan dia akan mengembalikan uang yang pernah diterima oleh Ali.
“Ehhmm, ya tentu. Asal kau bisa menyanyikannya dengan indah.” Kata juri asing itu.
Lalu lagu dangdut itu pun mulai terngiang kembali. Dan mereka pun bisa mendapatkan wayang itu kembali. Wajah mereka terlihat bergembira. Senyum kemenangan seakan terselip di wajah mereka. Lalu mereka segera bergegas pulang untuk menemui Beri.
“Untuk apa kau ke sini? Apa kamu ingin menjual budayamu yang lain?” Kata Beri kepada Ali.
“Maaf sebelumnya, Ber. Aku mengaku salah. Seharusnya aku tidak menjual wayang itu. Seharusnya aku menjaganya walau apapun yang terjadi. Dan hari ini pula aku ingin minta maaf kepadamu. Semoga kau mau memaafkanku! Aku tidak ingin persahabatan kita putus, Ber.” Jelas Ali.
“Ya, Ber. Ali sudah mengaku salah. Maafkanlah! Lagian wayang itu sudah kita dapatkan kembali.” Sahut May dengan menjelaskan lebih detailnya kepada Beri.
“Sekarang kita harus bersatu bukan? Tidak ada lagi kata permusuhan atau pertengkaran di antara kita. Tidak ada gunanya?”
“Ya, dan kita yang akan melestarikan budaya kita tercinta.”
“Ya, kita yang akan melestarikannya tanpa rasa malu. Lentera bangsa harus terus bersinar.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar