Rabu, 24 Agustus 2011

Telah Terbit Buku Antologi Puisi dan Cerpen:


Judul                           : PELANGI DI JEMARI (antologi puisi)
Tebal                           : 130 halaman
Harga                          : 25.000,-00 (belum termasuk ongkir)
ISBN                           : 978-602-97441-01
Penulis                         : Moh. Maman SR (Radindra Rahman) & Nurul Indah SN (Nurlinda Setyani)
Penerbit                       : IBC (Indie Book Corner)
                                      Pajeksan Gt 1/727
                                      Yogjakarta
Dalam buku “Pelangi di Jemari” terdapat lebih dari 100 puisi dengan tema yang beragam (percintaan, kemanusiaan, kritik sosial, politik, keagamaan, dan lain-lain).
Kutipan salah satu puisi:

Tuhan Tergadai

Menjelma alam ini
Dalam zaman orang-orang
Merangkas iman
Sementara di luar sana
Tuhan telah tergadai
Demi seteguk rayuan iblis
Memanjakan dunia
Dan keperawanan seorang gadis
Telah sirna
Demi harta,
Di pucuk nista
Di pucuk sengsara
Bahkan benih-benih kebaikan
Menjadi topeng hendak bernama
Di negeri mereka


Telah terbit buku:
Judul : CURHAT (antologi cerpen)
Tebal : 118 halaman
Harga : 25.000,-00 (Belum termasuk ongkir)
ISBN : 978-602-9149-31-9
Penulis : Radindra Rahman * Nurlinda Setyani*Arief Ahmad Purnomo * Aqila Rizqieya * Ummu Khuroiroh*Zafirah Az Zahra * Ipeh * Yumeina Ryuri * Piry Noupha*Shofi Maylina

Penerbit : IBC (Indie Book Corner)
Pajeksan Gt 1/727
Yogjakarta

Pembelian bisa di inbok facebook:
Radindra Rahman Sr. 

Nurlinda Indah Sn

Sabtu, 20 Agustus 2011

Semangat ’45 di Dada GarudA (Indonesia Bangkit)




Dunia tahu kita hidup di negeri yang melimpaH
Negeri bermacam pulau yang dulu terjajaH
Medan perang yang telaH
Tumpahkan bersumur-sumur daraH
Dan tumbangkan para penjajaH
Dalam tinta sejaraH
……….
Oh, IndonesiA
Kita bukan pengecuT
Dari kumpulan orang-orang yang ciuT
Kita adalah pahlawan Negeri PancasilA
Negeri yang gagah bak dada GarudA
Negeri yang kuat bak cengkeraman GarudA
Negeri yang hebat bak sayap GarudA
Ya, itulah kita rakyat IndonesiA
Rakyat yang tak kenal gentaR
Dalam bertempuR
IndonesiA!
Tak perlu kita cucurkan airmata itu sia-siA
Duka seakan hantui kita berabad-abad lamanyA
Luka itu bak tertanam dalam-dalaM,
TertimbuN
Menggerogoti jiwa dan hati kitA
Kecutkan kitA,
Patahkan kitA,
Dan lenyapkan semangat ‘45

IndonesiA
Ini bukan salah kita - jelas bukan dosa kitA
Bencana yang bertubi-tubi bak penjajah negerI
‘lah cucurkan airmatA
Anak-anak kita merenggek kelaparaN
Burung-burung di hutan pindah saranG
Ikan-ikan di laut pindah haluaN
Bahkan tersirat kabar – jelaS
Jantung kita tercabik di luar sana – negeri buaS

IndonesiA
Bangunlah negeri inI
Tanah subur, alam permaI
‘Lah Tuhan anugerahkan buat kitA
Bukan ‘tuk penjajah atau pengecut lemaH
Oh, IndonesiA
 …..
Tuhan ‘kan limpahkan cobaaN
Bukan ‘tuk kehancuran negeri inI
Tuhan telah siapkan kemenangaN
Atas Negeri PancasilA
Negeri kitA

IndonesiA!
Bangkitlah ke medan tempuR
Tanpa ragu dan gentaR
Tunjukan pada duniA
Semangat ’45 di dada GarudA
Terus berkibaR
BerkobaR





22.00, 23 Desember 2010

Lentera Bangsa (Budaya Indonesia)



Langit siang itu cerah tidak bernoda. Awan putih menggumpal dengan indah menghiasi wajahnya. Apalagi sinar matahari yang terang menerobos dan berjatuhan di  rerumputan yang sedang bercumbu dengan angin. Bergoyang seirama dengan tiupan yang sepoi di tanah tercinta, Indonesia. Tanah air yang selalu dipuja dan tersohor karena limpahan kemakmuran alamnya. Daratan hijau dari berbagai pulau yang dikelilingi lautan biru yang menambah lengkap sempurnanya alam.
Siang itu di tempat yang terbuat dari bambu-bambu yang kokoh berdiri. Terlihat empat sosok anak remaja yang sedang sibuk dengan persiapan pementasan. Sebut saja mereka Beri, Ali, Atika, dan May. Kala itu Beri sedang membenahi wayang kulitnya yang terlihat rusak.
“Kau masih mengandalkan wayang itu, Beri?” Tanya May gadis cantik keturunan Tionghoa.
“Ya, May. Inilah salah satu warisan yang berharga untukku dan hidupku.”
“Dijual saja-lah, Ber! Apa bagusnya pentas dengan gituan? Apalagi untuk festival tingkat nasional yang kebanyakan penontonya adalah para remaja. Mending kita cari ide yang lain.” Usul Ali.
“Sampai kapan pun ini tidak akan aku jual, Teman. Aku mencintai wayang ini seperti aku mencintai negaraku sendiri. Inilah salah satu dari lentera bangsa. Ya, walaupun tidak sepopuler zaman sekarang. Tapi untukku ini lebih dari harta yang berharga.” Jelas Beri panjang lebar.
“Ada ide apa, Al? Waktu kita tidak banyak. Satu-satunya konsep yang sudah siap untuk kita pentaskan adalah konsep dari Beri.” Sahut Atika.
“Pementasan wayang?” Tanya Ali.
“Ya. Memang kenapa dengan wayang? Selain bisa dipentaskan, kita juga bisa memperkenalkan budaya kita ‘kan?” Tegas Atika.
“Ya, kalau gak salah ada juri dari luar.” Tambah May.
“Ya, aku tahu. Tapi coba kalian pikir lagi. Siapa yang akan tertarik menonton pementasan wayang? Cuma bapak-bapak dan orang-orang tua ‘kan? Apalagi ini festival yang penontonya adalah para remaja. Remaja itu suka dengan yang menjadi tren.” Jelas Ali panjang lebar.
“Terus apa idemu?” Tanya May.
“Musik. Itu cara yang mudah untuk menarik perhatian orang-orang.” Jawab Ali.
“Ya, Atika jago menyanyi dangdut.” Kata May.
“Aku? Tapi aku malu untuk menyanyi dangdut.”  Sahut Atika.
“Tidak. Bukan dangdut May!” Kata Ali.
“Lalu apa idemu, Al?” Tanya Beri.
“Lagu cinta yang ber-genre pop-melayu. Ya, itulah yang sekarang lagi nge-hits dikalangan remaja,  seperti kita ini! Pasti kita akan menjadi juara dalam festival nanti. Atika sebagai vokal dan May kamu bisa main biola ‘kan?”
“Bisa sih.” Jawab May datar.
“Kita, Beri. Kau dan aku akan main gitar dan drum. Gimana?” Usul Ali.
“Kalau aku sih ikut saja mana yang terbaik buat festival besok?” Kata May.
“Memang idemu bagus, tapi coba kita pertimbangkan lagi. Di sisi lain jika kita memakai konsep yang telah dicetuskan oleh Beri. Kita tidak hanya akan mementaskan sesuatu seni, tapi kita juga bisa memperkenalkan budaya Indonesia. Dan jika kita harus nge-band, kita harus latihan ekstra untuk menciptakan harmonisasi yang bagus. Tapi waktu kita tidak banyak, Al. Ya ‘kan?” Jelas Atika.
“Aku juga setuju dengan pendapatmu, Tik?” Sahut May.
“Kamu Beri?” Tanya Ali.
“Sebaiknya kita voting? Jika kita terus memperdebatkan masalah ini, pasti tidak akan ada hentinya.” Jawab Beri bijak.
Lalu semuanya terdiam sejenak. Dan semuanya menyetujui usulan dari Beri untuk mengadakan voting. Dan hasil voting itu semuanya setuju dengan konsep yang diusulkan oleh Beri, kecuali Ali yang masih teguh dengan idenya.
“Gimana, Al?” Tanya Beri.
“Baiklah. Jika dari hasil voting lebih setuju dengan konsepmu, aku ikut saja.” Jawab Ali.
Akhirnya mereka pun segera menyiapkan semua perlengkapan untuk pentas dan pembagian tugas masing-masing.
Wajah langit pun juga sudah semakin menghitam. Awan-awan putih yang menggumpal telah pergi terbawa angin. Sementara matahari di ufuk barat mendapatkan tempat baru untuk memperelok bumi di senja hari.
Waktu terus berjalan! Hari pementasan pun sudah tiba. Semua peserta sudah berkumpul di tempat pementasan. Beri, Atika, dan May pun sudah sampai di gerbang tempat pementasan berlangsung. Tapi wajah mereka terlihat muram dan gelisah. Ya, lantaran Ali belum juga datang.
“Apa kamu sudah menghubungi Ali, Tik? Tanya May.
“Sudah, tapi katanya dia baru di perjalanan.” Jawab Atika.
“Coba hubungi dia lagi, Tik. Soalnya dia yang membawa wayang itu.” Seru Beri.
“Baiklah akan aku coba lagi.” Kata Atika yang langsung mengambil handphonenya dan mencoba menghubungi Ali kembali. Tapi sudah berulang kali dia mencoba handphone Ali tidak aktif.
“Handphoenya tidak aktif.” Jelas Atika.
“Kamu kemana sih, Al? Tapi dia tahu tempat pementasannya ‘kan? Tanya May yang mulai gelisah. Dan dari arah panggung pementasan pun sudah dimulai dengan peserta pertama. Wajah mereka bertiga semakin terlihat gelisah.
“Sebentar lagi kita akan tampil, Tik. Jika Ali tidak juga datang, apa yang mesti kita lakukan?” Tanya Beri yang juga terlihat gelisah.
“Aku juga bingung, Ber. Kita tunggu saja kedatangan Ali.” Jawab Atika.
Lalu tidak lama berselang. Dari arah depan terlihat Ali datang dengan wajah yang bahagia.
“Maaf aku terlambat. Jalanan macet.” Jelas Ali.
“Untung kita masih punya waktu. Terus mana wayangnya? Kamu bawa ‘kan?” Tanya Beri.
“Aku punya kabar bagus, Teman! Lebih dari sekadar wayang. Tadi di jalan aku bertemu orang dari luar negeri. Katanya dia tertarik dengan wayang yang aku bawa.” Jelas Ali.
“Bagus itu. Terus?”
“Ya, aku jual saja wayang itu. Dia mau membelinya dengan harga tinggi. Dan ini lebih dari cukup, bahkan lebih dari hadiah pementasan ini. Kita tidak usah ikut festival ini. Kita sudah mendapatkan uang untuk kita sumbangkan.” Jelas Ali dengan penuh semangat.
“Jadi kamu jual itu wayang?” Tanya Beri yang agak mulai emosi.
“Ya. Ini uangnya.” Jawab Ali.
“Ya ampun, Al. Kenapa kamu jual itu wayang? Kamu sadar gak sih?”
“Yang penting dapat uang ‘kan? Kita beli lagi yang baru. Gampang ‘kan?”
“Apa begitu mudahnya? Apa kamu juga akan menjual semua budaya yang kita punya hanya untuk mendapatkan uang itu? Apa kamu tidak malu, Al? Di mana rasa kecintaanmu kepada budaya sendiri? Apa kamu malu memainkan wayang? Hingga kamu harus menjualnya. Aku sungguh kecewa dengan kamu. Sangat!”
“Iya Al. Kamu tidak seharusnya menjual wayang itu.” Sahut Atika.
“Ya, seburuk-buruknya aku dengan budayaku. Dan serendah-rendahnya aku tanpa pengetahuan budayaku. Aku tidak akan menjual wayang itu.” Tambah May.
“Itu cuma wayang teman. Ayolah! Kenapa harus dibesar-besarkan? Jelas kita harus bangga. Mereka tertarik dengan budaya kita. Kita bisa mendapatkan uang itu.” Dalih Ali.
“Tapi tidak harus kau jual itu wayang ‘kan? Memang sejak awal kamu tidak setuju dan tidak berniat untuk mementaskannya. Kamu itu egois, Al. Kamu cuma mencari kehormatan tanpa harus menjaga kehormatan dan martabatmu sendiri. Aku sangat kecewa dengan sikapmu.” Jelas Beri.
Beri yang tidak bisa mengontrol emosi langsung menonjok wajah Ali. Dia pun langsung meninggalkan tempat pementasan itu dengan perasaan yang kecewa.
“Beri, kau mau kemana?” Tanya Atika.
“Kamu tidak apa-apa ‘kan, Al?” Tanya May yang mencoba membantu Ali.
“Apa aku salah? Aku hanya ingin membantu kalian mendapatkan uang itu.” Tanya Ali.
“Sudah hal itu tidak usah kita bahas lagi. Yang terpenting kita harus mencari jalan keluar dengan situasi yang akan kita hadapi sekarang. Apa yang mesti kita pentaskan hari ini? Kita tidak mungkin mengundurkan diri dengan alasan gara-gara wayang itu telah kita jual. Tidak hanya rasa malu yang akan kita dapatkan, tapi lebih dari itu. Kita akan dicap tidak memiliki rasa nasionalisme dan tidak peduli terhadap bangsa kita sendiri.” Jelas Atika panjang lebar.
“Kita pakai konsep yang telah aku buat kemarin saja, Tik!” Usul Ali.
“Itu tidak mungkin, Al. Kita tidak siap dan kita juga belum latihan. Dan dengan kondisimu yang seperti ini aku rasa tidak bisa.” Tolak Atika.
“Kamu saja yang tampil, Tik?” Kata May.
“Aku? Apa yang aku bisa lakukan tanpa kalian? Itu tidak mungkin.” Tanya Atika.
“Menyanyi dangdut, Tik.” Jelas May.
“Tapi, tapi. Aku malu jika harus menyanyi dangdut. Apalagi di depan orang banyak, May.”
“Ayolah, Tik. Pasti kamu bisa. Dan kita tahu sendiri ‘kan. Dangdut sudah menjadi bagian dari budaya kita. Aset penting bangsa kita!” Bujuk May.
“Ya, May benar, Tik. Aku harap kau mau?” Tambah Ali.
Akhirnya Atika pun menyetujui usul dari May dan Ali. Mereka pun segera menuju ke tempat pementasan berlangsung. Atika mencoba menarik nafas dalam-dalam. Dia terlihat gugup. Sementara, May dan Ali duduk di bangku penonton.
Tepuk tangan penonton menambah riuh suasana hari itu. Lagu dangdut itu pun telah mengajak penonton untuk berdiri dari tempat duduk dan mengikuti alunan gendang yang sedang ditabuh. Suara Atika sudah menggema dalam pementasan pagi itu. Semua menyambutnya dengan gembira.
Waktu lekas berjalan!
“Syukurlah, Tik! Kau berhasil menyanyikannya dengan baik. Orang-orang pada ikut bergoyang. Apalagi juri-juri. Kau tampak seperti penyanyi ibu kota.” Celoteh May.
“Ya, May. Tapi hatiku masih ada yang mengganjal.” Kata Atika.
“Apa? Soal juara gaknya kita? Soal itu gak usah dipikirkan, Tik. Yang penting kau sudah memberikan yang terbaik buat penonton dan buat kita semua.”
“Bukan soal itu!”
“Lalu apa?”
“Aku juga tidak tahu persisnya.”
Lalu seorang juri pun menghampiri mereka bertiga.
“Selamat pagi? Saudari Atika?” Tanya juri yang berasal dari luar negeri. Ali pun tidak asing dengan wajah itu.
“Pagi.”
“Tik, orang itu yang membeli wayang kita tadi.” Bisik Ali.
“Apa musik yang kamu nyanyikan tadi? Itu membuat orang-orang begitu senang menikmatinya. Bahkan aku sendiri baru pertama kali mendengarnya. Aku jatuh hati dengan musik itu.” Kata juri luar itu.
“Itu musik dangdut, Mr.. Asli dari Indonesia.” Jelas Atika.
“Oh, dangdut. Kamu bisa nyanyikan itu lagi spesial untukku. Kalau kamu berkenan.” Pinta juri asing itu.
“Ya, dengan senang hati. Tapi boleh saya minta sesuatu, Mr.?”
Atika pun menjelaskan maskudnya. Dia akan menyanyikan lagu dangdut itu jika ditukar dengan wayang yang dibawa juri asing itu. Dan dia akan mengembalikan uang yang pernah diterima oleh Ali.
“Ehhmm, ya tentu. Asal kau bisa menyanyikannya dengan indah.” Kata juri asing itu.
Lalu lagu dangdut itu pun mulai terngiang kembali. Dan mereka pun bisa mendapatkan wayang itu kembali. Wajah mereka terlihat bergembira. Senyum kemenangan seakan terselip di wajah mereka. Lalu mereka segera bergegas pulang untuk menemui Beri.
“Untuk apa kau ke sini? Apa kamu ingin menjual budayamu yang lain?” Kata Beri kepada Ali.
“Maaf sebelumnya, Ber. Aku mengaku salah. Seharusnya aku tidak menjual wayang itu. Seharusnya aku menjaganya walau apapun yang terjadi. Dan hari ini pula aku ingin minta maaf kepadamu. Semoga kau mau memaafkanku! Aku tidak ingin persahabatan kita putus, Ber.” Jelas Ali.
“Ya, Ber. Ali sudah mengaku salah. Maafkanlah! Lagian wayang itu sudah kita dapatkan kembali.” Sahut May dengan menjelaskan lebih detailnya kepada Beri.
“Sekarang kita harus bersatu bukan? Tidak ada lagi kata permusuhan atau pertengkaran di antara kita. Tidak ada gunanya?”
“Ya, dan kita yang akan melestarikan budaya kita tercinta.”
“Ya, kita yang akan melestarikannya tanpa rasa malu. Lentera bangsa harus terus bersinar.”

Jumat, 12 Agustus 2011

Bumi Rumahku


Rintik-rintik hujan mulai reda membasahi bumi. Daun-daun pada ranting pepohonan terlapisi air yang berwarna bening langit. Langit yang kini tergores warna biru nirmala. Bahkan terlihat mengagumkan dengan polesan tujuh warna pelangi.
Di sisi lain, burung-burung kecil terdengar lebih merdu kicaunya, bertengger di atas genting yang belum kering karena air hujan. Genting-genting yang sama betul rupa dan bentuknya. Warna hitam usang dan terbuat dari tanah liat. Bahkan beberapa dari rumah mereka tidak menggunakan genting sebagai atapnya. Namun, seng-seng bekas yang cukup kuat untuk menahan terik dan hujan. Tidak ada seberkas sinar yang menerawang ke dalam ruangan. Gelap dan pengap. Melainkan rembesan air hujanlah yang selalu menggenangi lantai yang masih berbau tanah pedesaan. Ya, walaupun mereka hidup di daerah perkotaan. Di atas pinggiran sungai yang menjadi sumber utama kehidupan mereka. Tempat bagi kaum-kaum pinggiran.
Jalan-jalan setapak depan rumah masih tergenang air. Permukaannya sudah tidak lagi rata dan kering. Lumpur telah bercampur dengan debu-debu yang terkikis dari genting-genting. Guguran dedaunan dari pohon-pohon tua juga ikut tersapu air hujan. Namun, semua itu telah disambut dengan senyum dan tawa polos anak-anak. Langkah-langkah kecil yang ingin bermain dan berlarian dalam keceriaan dunia mereka. Dunia penuh imajinasi.
Terlihat sesosok lelaki tua keluar dari dalam rumah. Rumah yang terletak tidak jauh dari pohon besar yang berdiri kokoh di pinggiran sungai. Rumah sederhana yang sudah berdiri beberapa puluh tahun yang lalu. Sosoknya telah hadir di antara canda dan tawa anak-anak kecil yang sedang berlarian di depan rumahnya. Langkahnya tertatih-tatih menuju emperan rumah. Terlihat guratan-guratan keriput di wajah lelaki tua itu. Lelaki yang akrab disapa Mbah Mijan.
“Jangan lari-larian! Nanti jatuh.” Ujarnya kepada anak-anak yang sedang asyik bermain air.
“Tidak Mbah!”
“Lebih baik duduk sini sama Mbah! Mbah punya cerita bagus.”
“Hore. Hore. Cerita apa Mbah? Si Kancil dan Si Buaya ya, Mbah?”
Lalu langkahnya menuju kursi usang yang ada di depan emperan rumahnya. Seperti mendapatkan hadiah yang membuat hati mereka gembira. Anak-anak langsung menghampiri Mbah Mijan yang sudah duduk di kursi tuanya. Mereka langsung menyulap sandal mereka menjadi alas untuk duduk. Semua duduk tenang memperhatikan raut wajah tua Mbah Mijan yang akan mengisahkan sebuah cerita. Lelaki tua yang terkenal pandai mendongeng di perumahan pinggiran sungai itu.
“Sini duduk di pangkuan si Mbah!” pinta Mbah Mijan kepada salah satu anak yang bertubuh kecil.
“Dengarkan baik-baik cerita Mbah ya?” tambah Mbah Mijan. Anak-anak hanya menganggukan kepala dengan wajah polosnya. Rasa penasaran pun mulai menggelayut di raut wajah mereka.
“Mbah ingin bercerita tentang Si Ikan dan Si Ikal.” Tuturnya.
“Dahulu kala hiduplah Si Ikan yang tinggal di sungai. Dia menjaga sungai setiap hari. Dari merawat sungai, membersihkan sampah-sampah dan menjaga ketenangan sungai. Tapi suatu ketika Si Ikal datang. Saat itu dia merasa lapar sekali. Dia ingin memancing ikan di sungai. Setelah lama menunggu. Akhirnya dia mendapatkan sebuah ikan besar. “Saya bisa makan hari ini?” kata Ikal. “Saya mohon jangan makan saya. Jika kamu memakan saya, bencana akan datang.” Pinta Si Ikan menjelaskan. Ikal pun tidak memperdulikan perkataan Si Ikan. Dia membawa pulang ikan itu dan memakannya dengan lahap….”
Mbah Mijan menghela nafas sejenak.
“Terus apa yang terjadi, Mbah?” tanya anak-anak yang bertambah penasaran. Mbah Mijan hanya melempar senyum melihat wajah anak-anak yang tidak sabar menunggu kelanjutan ceritanya.
“Semenjak kepergian Si Ikan dari sungai. Sungai menjadi keruh karena sampah-sampah bertumpuk memenuhi aliran sungai. Kehidupan yang ada di dalamnya pun mati karena kekurangan oksigen. Air terus bertambah keruh dan kotor karena tumpukan sampah-sampah. Saat hujan datang, terjadilah banjir yang merobohkan rumah-rumah yang ada di pinggiran sungai itu.” Jelas Mbah Mijan melanjutkan.
“Bagaimana dengan Si Ikal, Mbah?”
“Ikal pun menyesali bahwa perbuatannya salah. Dia pun mengajak warga untuk membersihkan sungai secara bergotong-royong. Sungai pun kembali bersih dan bisa dimanfaatkan oleh penduduk setempat.”
“Kasihan Si Ikan ya, Mbah?”
“Ya, jadi kalian tidak boleh membuang sampah ke sungai ya? Kasihan ikannya kan tidak bisa bernafas karena airnya kotor. Kalian harus menjaga sungai kita supaya tetap bersih dan tidak menimbulkan…?”
“Banjir Mbah!”
“Jadi, sampahnya harus dibuang di…?”
“Tempat sampah, Mbah. Tidak boleh di sungai.”
“Pintar cucu Mbah.”
*****
Air mengalir tenang dari sungai yang terletak di belakang rumah warga. Sungai yang menjadi sumber utama kehidupan mereka. Semua aktivitas mulai dari mencuci, mandi bahkan memasak sekalipun. Semua tidak terlepas untuk memanfaatkan air yang sudah tidak lagi bening itu. Sampah-sampah tidak sedikit yang menutup wajah sungai yang dahulu jernih itu. Airnya telah berubah kuning kecokelat-cokelatan bercampur sampah yang terus dibuang warga ke sungai. Seakan tidak ada kepedulian dan kekhawatiran akan dampak dari air sungai yang sudah tidak layak digunakan. Namun, mereka masih menggantungkan hidupnya dengan pemakaian air dari sungai itu. Ya, lantaran air yang begitu mahal dan sulit diperoleh untuk mereka orang-orang pinggiran.
“Masih membuang sampah ke sungai, Bu?” tanya Mbah Mijan yang mendapati tetangganya membuang sampah ke sungai.
“Ya, Mbah. Bagaimana lagi, tidak ada tempat lain lagi untuk membuang sampah. Kan Mbah tahu sendiri, komplek kita ini sempit Mbah. Tidak ada lahan yang cukup untuk tempat pembuangan sampah. Rumah saja tidak seluas kandang kucing orang-orang kaya, Mbah.”
“Ya, kan bisa pakai tong-tong bekas untuk menampung sampah atau membuat galian lubang kecil di belakang rumah. Kita bedakan antara yang sampah organik dan anorganik. Nanti kalau sudah penuh bisa dibakar sampahnya. Kalau terus-terusan membuang sampah ke sungai bisa memperkeruh sungai. Kasihan anak-anak juga ‘kan bu jika terkena penyakit. Kalau musim hujan datang, bisa menyebabkan banjir juga ‘kan, Bu?”
“Itu sih urusan pemerintah, Mbah! Yang di atas yang harus menangani masalah itu. Apa gunanya pemerintah jika tidak bisa mengurusi rakyatnya?”
“Terus apa gunanya aturan jika rakyatnya sendiri masih melanggar, Bu? Kita juga jangan terlalu berharap pada pemerintah kan, Bu?”
Ibu setengah baya itu langsung pergi begitu saja meninggalkan Mbah Mijan tanpa sepatah kata pun. Lalu pandangan Mbah Mijan tertuju ke arah sungai yang sudah tidak lagi bersih itu. Dihelanya nafas panjang melihat keadaan yang sudah berubah dari masanya dulu. Sungai yang menjadi saksi hidupnya kini telah berubah menjadi keluh kesah di masa tuanya. Tidak ada seroang pun yang peduli akan sungai yang menjadi sumber utama kehidupan mereka. Justru setiap hari sampah terus bertambah banyak dan kian menumpuk. Bahkan tidak sedikit warga yang mendirikan jamban di pinggiran sungai. Sungai yang tidak hanya dimanfaatkan untuk mencuci dan mandi. Bahkan untuk bahan konsumsi oleh warga di pinggiran sungai itu.
Segala upaya telah dilakukan Mbah Mijan untuk menyadarkan warga, betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Terutama sungai yang kini menjadi sumber utama kehidupan bagi warga. Penyuluhan-penyuluhan yang pernah dilakukan Mbah Mijan selama ini pun belum bisa menyadarkan warga untuk tidak membuang sampah ke sungai. Seakan segala usahanya tidak ada yang membuahkan hasil. Namun, sifat ulet dan kegigihan dalam hatinyalah yang terus berkobar untuk terus mengingatkan warga agar menjaga sungai dan lingkungan sekitar.
Diusianya yang sudah senja, dia justru memiliki tanggungjawab besar sebagai orang yang dituakan di perumahan pinggiran sungai itu. Dia merasa memiliki andil besar untuk merubah warga yang berlaku salah dalam memperlakukan lingkungan.
Pagi itu, Mbah Mijan mencoba mengajak warga untuk membuat galian kecil di belakang rumah atau di tempat yang sekiranya kosong untuk dijadikan pembuangan sampah sementara. Beberapa orang pun melakukan apa yang diinstruksikan oleh Mbah Mijan. Namun, tidak sedikit pula yang menolak lantaran membuang-buang waktu mereka. Masih banyak dari mereka yang lebih senang membuang sampah ke sungai secara langsung.
*****
“Mbah? Mbah Mijan?” seru seorang warga dengan nada bicara agak panik. Mbah Mijan yang mendengar suara ketukan pintu yang begitu keras langsung terbangun. Lalu diambilnya tongkat yang biasa menemani langkahnya. Jalannya tertatih-tatih menuju pintu depan.
“Ada apa, Le?” tanya Mbah Mijan.
“Mbah warga banyak yang terkena penyakit aneh. Anak-anak juga pada terkena diare, Mbah.”
“Sudah dibawa ke rumah sakit?”
“Dibawa ke puskesmas, Mbah.”
“Ya, nanti mbah ke sana!”
“Iya, Mbah.”
Dari arah jalan raya, terlihat orang-orang sudah berkerumun memadati area puskesmas. Tua-muda dan lelaki-perempuan semua terlihat bercampur aduk dalam kegelisahan dan tangis, melihat anak-anak dan saudara-saudara mereka tergeletak lemas di ruangan yang ada di puskesmas itu. Perut mereka merasakan melilit kesakitan dan kulit mereka gatal bukan main.
“Mereka sudah mendapat perawatan?” tanya Mbah Mijan setibanya di puskesmas.
“Alhamdulilah, sudah Mbah. Kata dokter yang menangani, mereka terkena diare dan penyakit kulit, Mbah.”
“Iya, Mbah. Mungkin karena air sungai yang sudah tercemar itulah mbah penyebab dari semua ini.” Sahut yang lain.
“Mungkin semua salah kami tidak memperdulikan kata-kata, Mbah.” Tambah yang lain.
“Sudah tidak ada yang perlu disalahkan. Kita ambil hikmahnya dari peristiwa hari ini.” Tutur Mbah Mijan bijak dalam menanggapi permasalahan.
“Ya, Mbah.”
*****
Beberapa hari belakangan warga mulai sibuk dengan instruksi yang diberikan oleh Mbah Mijan untuk membuat tempat pembuangan sampah. Semenjak peristiwa kemarin, akhirnya warga sadar dengan dampak yang mereka timbulkan dengan membuang sampah ke sungai hingga mengakibatkan keruh dan tercemarnya sungai. Kini semua bergotong-royong dalam pembuatan galian di tempat-tempat kosong untuk tempat pembuangan sampah. Tong-tong bekas disulap menjadi tempat-tempat sampah. Dari sudut ke sudut perumahan ibu-ibu juga tidak mau kalah dengan bapak-bapak. Mereka membersihkan rumah dan menanam tumbuh-tumbuhan di emperan rumah mereka. Tapi semua itu tidak terlepas untuk mengembalikan kejernihan sungai kembali. Semua bergotong-royong untuk mengeruk sampah yang sudah menggunung di pinggiran sungai.